I.
PENDAHULUAN
Amar
putusan hadhanah yang berkekuatan hukum tetap menetapkan bahwa penggugat
(Ibunya) berhak untuk memelihara seorang anak, dan menghukum tergugat (ayahnya)
menyerahkan anak tersebut kepada penggugat. Bila amar putusan tersebut tidak
dilaksanakan secara sukarela oleh tergugat atau para pihak yang terkait dengan
pelaksanaan putusan maka upaya yang dilakukan oleh pengadilan selama ini
melakukan eksekusi berdasarkan permohonan penggugat.
Menjadi
perbedaan pendapat dikalangan pakar hukum dan praktisi hukum, apakah boleh
dilakukan atas anak ? Apakah ada dasar hukumnya? Bila ada aturan hukum yang
mengatur eksekusi, maka bagaimana tekhnis pelaksanaan eksekusi dan apa saja
kendala substansial dan tekhnisnya dalam pelaksanaannya? Bila anak yang akan
dieksekusi disembunyikan, apakah tindakan hukum yang harus dilakukan? Apakah
memungkinkan Dwangson diterapkan dalam amar putusan Hadhanah?
Beberapa
permasalahan tersebut akan menjadi fokus kajian makalah ini.
II.
HADHANAH DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF
Ada hubungan yang sangat erat antara
eksekusi anak dan putusan hadhanah. Sering terjadi permohonan hadhanah,
memunculkan putusan condemnatoir yang mengharuskan adanya eksekusi apabila
salah satu pihak tidak melaksanakan putusan.
Hadhanah
secata etimologi berarti mengasuh anak, memelihara anak dan mendidik
anak. Hadhanah juga berarti al-janbu, al-dlammu ila al-janbi (sebelah
atau pihak lain). Dalam literatur fikih, para fuqaha menyebutkan :
Artinya : Penyerahan
tanggung jawab pendidikan anak kepada orang yang berhak melaksanakan atau suatu
penyerahan tanggung jawab pendidikan, pemeliharaan atas anak/orang yang belum
cakap mengurus dirinya, karena belum adanya kecakapan, seperti anak kecil atau
dewa tapi gila.
Muhammad
Jawad al-Mughniyah menyebutkan bahwa hadhanah atas anak adalah terkait dengan
pendidikan anak dan pengasuhan anak sehingga memerlukan seorang pengasuh hingga
ia dewasa. Sayid Sabiq, mengemukakan juga bahwa hadhanah adalah melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang
sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu demi kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang merusak jasmani dan rohaninya serta akalnya agar
mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab apabila
sudah dewasa.
Landasan
hukum dalam hukum positif dapat dilihat dalam Pasal 41, huruf a dan b
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 24, ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975,
pasal 156, 105, huruf a, b, dan c. komplikasi Hukum Islam, Pasal 66a UU No. 7
Tahun 1989.
Adanya
perhatian atas nasib oleh hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif
tersebut, menandakan adanya kesadaran hukum dan moral di kalangan pakar hukum
dan praktisi hukum. Tujuannya adalah untuk menjaga perkembangan anak, memenuhi
kebutuhan sandang pangan dalam usia tertentu, menjamin masa depannya dan upaya
memanusiakan manusia.
III.
EKSEKUSI PUTUSAN HADHANAH
Belum
ada penelitian secara akademik yang menunjukkan bahwa mengapa agak jarang
masyarakat menggunakan haknya untuk memohon eksekusi atas anak. Asumsi dasar
berikut, dapat menjawab fenomena tersebut, antara lain :
1. Belum
membudayanya permohonan eksekusi di kalangan masyarakat atas penguasaan anak,
sehingga sering terjadi masyarakat atau pencari keadilan cukup menyelesaikan
secara kekeluargaan.
2. Prosedur
eksekusi yang memakan waktu lama
3. Istri
atau Suami yang mengajukan cerai, hanya ingin bebas dari suami atau istri,
sehingga masalah siapa yang berhak atas anak tidak terjadi persoalan pokok dan
mendasar.
4.
Kendala
struktural, kultural, sosiologis dan psikologis masyarakat yang masih bersifat
kolektif yang mengedepankan asas kekeluargaan.
Masalah
eksekusis atas anak, masih diperselisihkan oleh para pakar hukum dan praktisi
hukum. Pendapat yang muncul dapat diklasifikasi dalam dua kelompok, yaitu
Pendapat Pertama yang membolehkan, dengan alasan bahwa dalam HIR atau hukumnya
dapat ditemukan antara lain dalam Pasal 259 ayat (1) R. Bg dan Pasal 319hBW.
Eksekusi atas penguasaan anak dibenarkan demi kepentingan anak tersebut.
Termasuk
alasan kelompok pertama bahwa perkembangan hukum yang dianut akhir-akhir ini
menetapkan bahwa penguasaan anak yang putusnya bersifat condemnatoir, jika
sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut dapat dieksekusi. Pengadilan
mempunyai hak upaya paksa dalam melaksanakan putusan tersebut (execution
force).
Pada
tanggal 6 Juli 1999, Mahkamah Agung RI yang tergabung dalam TIM E menetapkan
bahwa penguasaan anak dalam pelaksanaan eksekusinya merupakan upaya paksa dan
dapat dijalankan, dan apabila ada yang menghalangi terhadap eksekusi itu dapat
Dipidana sesuai dengan Pasal 216 (1) KUHP.
Pasal
319 KUH Perdata yang mengatakan bahwa
jika pihak yang senyatanya menguasai anak-anak yang belum dewasa itu menolak
menyerahkan anak-anak itu, maka para pihak yang menurut keputusan pengadilan
harus menguasai anak tersebut, boleh meminta melalui perantaran juru sita dan
menyuruh kepadanya melaksanakan keputusan itu.
Dua
kata kunci yang harus dipahami dalam Pasal 319 tersebut, pihak yang senyatanya
menguasai anak-anak dan pihak yang menurut keputusan harus menguasai mereka.
Kalimat pertama ditujukan kepada pihak yang dihukum untuk menyerahkan
penguasaan anak atau orang lain yang diberi amanah. Kalimat kedua menunjukkan
ada pihak-pihak yang harus menguasai anak secara hukum, sehingga dibenarkan
untuk melakukan upaya hukum, termasuk mengajukan eksekusi atas anaknya.
Pendapat
Kedua mengatakan bahwa eksekusi atas anak tidak dibenarkan, dengan alasan bahwa
anak itu tidak boleh dipaksa-paksa dan bersifat tidak manusiawi dan akan membahayakan
mental anak (Pasal 33 HIR). Yurisprudensi yang terkait dengan eksekusi hanya
dalam kaitannya dengan hukum benda, bukan orang. Putusan declatior lazimnya
hanya memberikan penetapan hak, tidak dapat dieksekusi melalui upaya paksa
(execution Force). Dalam filosofi hukum pun dikenal, bahwa anak bukanlah benda
yang dapat dibagi (in natura), oleh karena itu jalur dan lajur sukarela antara
para pihak harus dilakukan demi kebaikan si anak.
Apapun
alasan masing-masing pendapat diatas, sebenarnya pendapat pertama dapat
dijadikan patokan hukum. Terhadap argument kelompok kedua, bahwa anak tidak manusiawi
membiarkan anak-anak tersebut dibawah pengawasan orang tidak bertanggung jawab,
tidak mampu secara hukum dan tidak sah secara hukum, boleh jadi upaya paksa melalui
eksekusi akan lebih bermanfaat dari pada membiarkan dalam kemudaratan (Dza’ru
al-mafasid muqaddamu ‘ala jalbi al-mashallh).
Prosedur
hukum acara eksekusipun, akan melalui tahap teguran (aanmanning), termasuk
pemberitahuan atas adanya eksekusi. Langkah ini sudah cukup adil dan bijaksana
dalam memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang tidak melaksanakan putusan
secara sukarela. Upaya ini merupakan langkah psikologis yuridis, dengan
memberikan dan kesempatan agar para pihak menyadari hak dan kewajibannya.
Hukum tidak mengenal siapa, waktu dan tempat. Pelaksanaan
dan penerapan hukum secara teknislah yang menentukan hukum itu dapat diterapkan
atau tidak. Prosedur teknis, dalam istilah kaidah hukum islam adalah
dhony al-Tanfidziyah, artinya hukum dapat dilaksanakan disesuaikan dengan
keadaan, bukan mengubah hukum dasar atau hukum asal. Oleh karena itu perdebatan
boleh tidaknya eksekusi atas anak, perlu diakhiri dengan catatan bahwa eksekusi
tetap ada dan berkekuatan hukum, tetapi dalam pelaksanaannya disesuaikan secara
kondisi sosiologis teknis prosedural.
IV.
PROSEDUR TEKNIS EKSEKUSI HADHANAH
Prosedur
eksekusi penguasaan anak dapat diuraikan secara kronologis, sebagai berikut :
a.
Putusan,
telah mempunyai kekuatan hukum tetap
b.
Pihak
yang kalah tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela
c.
Penggugat
mengajukan permohonan eksekusi sesuai dengan aturan yang ada
d. Ketua
Pengadilan menetapkan sidang ammaning dengan memanggil kedua belah pihak dalam
tenggang waktu delapan hari
e. Bila
telah lewat 8 hari dari waktu aanmaning (Pasal 207 R. Bg/196HIR),maka ketua
pengadilan mengeluarkan surat
perintah eksekusi
f. Eksekusi
dilakukan ditempat orang yang dihukum untuk menyerahkan anak itu dan atau
ditempat orang yang menguasai anak tersebut
g.
Pelaksanaan
eksekusi dibantu oleh dua orang saksi yang memenuhi unsur-unsur pasal 210 ayat
2 R. Bg, (telah berumur 21 tahun, penduduk Indonesia, jujur dan dapat
dipercaya)
h.
Panitera
atau juru sita mengambil anak tersebut secara baik, sopan dan sesuai adat setempat,
dan bila termohon atau terhukum menghalangi maka harus dilakukan dengan paksaan
i. Juru
sita membuat berita acara eksekusi yang ditandatangani oleh juru sita dan dua
orang saksi dalam lima
rangkap
Termasuk
upaya paksa adalah dengan menggunakan alat negara, seperti polisi bila enggan
menyerahkan anak secara sukarela atau disembunyikan oleh pihak ketiga. Sebab
itu ditutup kemungkinan seorang anak akan disembunyikan oleh para pihak
tertentu untuk menggagalkan eksekusi.
Dengan
terpenuhinya asas-asas eksekusi, yaitu :
1.
Menjalankan
putusan yang berkekuatan hukum tetap
2.
Putusan
tidak dijalankan secara sukarela
3.
Putusan
mengandung amar condermnatior
4. Eksekusi
atas perintah dan dibawah ketua pengadilan, maka eksekusi dapat dilaksanakan
Ketika
akan dilaksanakan eksekusi, si anak disembunyikan oleh terhukum atau oleh
pihak-pihak yang terkait dengan hukum, termasuk kondisi dimana terhukum membawa
anaknya ke luar negeri untuk menetap bersama sebagai tenaga kerja. Apakah
tindakan hukum yang dilakukan atas masalah tersebut? Pemecahan yang umum
dilakukan adalah membuat berita acara penundaan eksekusi dengan alasan bahwa
eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena ada upaya dan itikad tidak baik dan
terhukum.
Sebenarnya
prosedur penundaan tersebut dibenarkan oleh hukum acara, akan tetapi apakah tidak
ada cara pendekatan yang lebih persuasif dan kekeluargaan dalam proses
eksekusi. Artinya ketua pengadilan dan Panitera yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan eksekusi harus aktif dan bijaksana dalam mencari celah demi
keberhasilan eksekusi. aktif dan bijaksana dimaksudkan adalah memberikan
penjelasan kepada pihak terhukum atau pihak-pihak yang terkait dengan anak
tersebut agar melaksanakan dengan sukarela putusan tersebut.
Juru
sita bekerja sama dengan aparat pemerintahan setempat dapat memasuki tempat-tempat
yang dianggap sebagai lokasi keberadaan anak. Kerja sama ini penting artinya
dalam upaya menegakan wibawa pengadilan dimata lembaga dan instansi lain,
sehingga hukum tidak hanya menjadi wewenang pengadilan, tetapi pada saat-saat
tertentu, instansi lainpun ikut memikul tanggung jawab dalam reformasi hukum
dan menciptakan keadilan hukum dalam masyarakat.
V.
PERLUNYA PENERAPAN DWANGSOM
Dwangsom
atau astreinte adalah hukuman tambahan dalam putusan hakim terhadap orang yang
dihukum untuk membayar sejumlah uang selain yang telah disebutkan dalam hukum
pokok dengan maksud agar ia bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana
mestinya dan tepat waktu. Lembaga dwangsom diatur dalam pasal 606 a dan 606 b
B.Rv. yang mulai dipergunakan oleh Raad Van Justitie dan Hoegerechtteshof
tahun 1938, memang dalam HIR dan R. Bg, tidak disebutkan secara rinci.
Masih
terjadi dualisme pemikiran dalam hal ini, ada yang berpendapat tidak layak
diterapkan pada kasus hadhanah, dengan alasan konteksnya berbeda dengan ganti
rugi (Pasal 225 HIR) atau kompensasi dalam hukum perdata atau masalah hutang
piutang. Bagi kalangan yang berpendapat perlu dilakukan lembaga dwangsom dalam
putusan hadhanah, dengan alasan :
1. Sebagai
langkah strategis dalam upaya mencegah para pihak tidak melaksanakan putusan
dan mencegah keputusan hampa (ilusoir)
2.
Hanya
merupakan hukuman tambahan, bila hukuman pokok tidak dipenuhi, sehingga
pelanggaran dwangsom pun dapat dieksekusi.
3.
Sebagai
tekanan psikis, sehingga dengan sukarela melaksanakan putusan
Pasal 225
HIR, Pasal 259 R.Bg., yaitu gugatan untuk melaksanakan suatu persetujuan
berdasarkan pasal 1267 KUH Perdata dapat dijadikan dasar dalam putusan yang
memuat tuntunan dwangsom. Oleh karena itu, penggugat yang menuntut hadhanah,
dapat mengajukan tuntunan dwangsom (pasal 606 a B. Rv) dengan didasarkan pada
posita yang jelas,3) besarnya dwangsom tidak berkenaan dengan gugatan
pembayaran sejumlah uang, 4) tuntunan dwangsom dicantumkan secara jelas dan
tegas dalam pettum), 5) Majelis hakim yang memeriksa tuntunan hadhanah yang
mencantumkan dwangsom harus benar-benar memperhatikan layak tidaknya untuk
diterima dengan melihat kondisi ekonomis yang akan melaksanakan dwangsom , 6)
termasuk layak tidaklah dwangsom dalam perkara yang sedang diperiksa dalam arti
beralasan hukum atau tidak tuntutan dwangsom tersebut.
Oleh
sebab itu, diantara pettium (selain pettium lainnya) yang terkait dengan
tuntutan dwangsom aas hadhanah adalah :
1.
………..
2.
………..
3.
………..
4.
Menghukum
tergugat untuk membayar kepada penggugat sebesar Rp…………(…..) setiap hari
keterlambatan melaksanakan putusan ini terhitung sejak putusan ini berkekuatan
hukum tetap.
Dalam
amar putusan (bila tuntutan dwangsom diterima) maka berbunyi : menghukum
tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp……….(……….) setiap hari, setiap
penggugat melalaikan putusan berkekuatan hukum tetap.
VI.
PENUTUP
Eksekusi
atas anak berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan
selama prosedur dan asas pelaksanaan eksekusi diperhatikan oleh pelaksana
eksekusi, khususnya Panitera dan juru sita sebagai ujung tombak pelaksanaan
eksekusi.
Mencantumkan
amar tuntutan dwangsom merupakan alternatif dalam upaya memberi kepastian hukum
kepada anak, sehingga para pihak yang terlibat menyadari hak dan kewajibannya,
minimal sifat condemnatoir putusan lebih diperhatikan oleh terhukum.
Perlu
adanya perubahan pola pikir, baik secara struktural, kultural maupun yuridis
atas berbagai pandangan masyarakat yang masih tabu untuk melakukan tuntutan
permohonan eksekusi, minimal melalui penyuluhan hukum, sehingga nasib anak-anak
dimasa mendatang terjamin sesuai dengan HAM dan pembangunan manusia Indonesia
yang seutuhnya.
Sekalipun
asas pasif yang dianut dalam hukum perdata, Aparat pengadilan Agama tetap
dituntut untuk profesionalisme sesuai dengan tugas masing-masing, khususnya
dalam eksekusi atas anak dengan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.
Wa
Allahu A’lam bi al-Shawab
KEPUSTAKAAN
Sudikno MertoKusumo, Hukum Acara
Perdata Indonesia,
Yogyakarta,Liberty,
1993.
Wahabah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam
wa Adillatuh, Damaskus, Dar al-Fikr, 1989
R. Tresna,
Komentar HIR, Jakarta, Pradnya Paramita,1970
Mahmud Yunus,
Kamus Arab-Indonesia, Jakarta,Bula Bintang. 1081
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup
Permasalahan eksekusi bidang perdata, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Muhammad Jawab al-Mughniya, al-fiqh al
Mazahib al-Khamsyah, Beirut,
Dar al-Fikr, 1990
Zainal Abidin,Kumpulan Peraturan
Perundang-Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, al-Hikmah, 1995
Wildan Syuthi Mushtafa, Panitera
Pengadilan, Tugas Fungsi dan Tanggung Jawab, Jakarta, MARI, 2002.