Monday, April 11, 2016

PEDOMAN PEMBANGUNAN ZONA INTEGRITAS PADA Kementerian/Lembaga/Propinsi/Kabupaten/Kotamadya

LATAR BELAKANG

Berbagai kegiatan sebagai upaya untuk mencegah korupsi telah banyak dilakukan oleh KPK, antara lain Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)Program Pengendalian Gratifikasi (PPG)KPK Whistleblower's System (KWS), Kampanye, Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK), SI, sosialisasi, pendidikan/pelatihan, Integrity Fair, dsb. 

Keberhasilan upaya pencegahan korupsi tersebut dirasakan kurang optimal, salah satu sebabnya diduga karena  upaya tersebut  tidak dilakukan secara terpadu dan direncanakan dengan baik.

Pembangunan Unit Kerja Zona Integritas (ZI) diharapkan dapat menjadi model pencegahan korupsi yang lebih efektif, karena pada Unit Kerja ZI inilah dilakukan berbagai upaya pencegahan korupsi secara terpadu.

DEFINISI

Pada pedoman ini, yang dimaksud dengan :

1). Zona Integritas (ZI) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada suatu K/L/Prop/Kab/Kota yang pimpinannya mempunyai niat (komitmen) mencegah terjadinya korupsi dan mempunyai program kegiatan pencegahan korupsi dan reformasi birokrasi di lingkungan kerja yang menjadi tanggungjawabnya;

2). Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada unit kerja pada ZI yang mempunyai indeks integritas tertentu dari hasil survei integritas dan telah mampu memenuhi indikator lain yang ditetapkan;

3). Unit Kerja adalah suatu unit kerja layanan masyarakat yang mandiri. Mandiri dalam arti   mengelola anggaran (DIPA) sendiri yang eselonisasinya   serendah-rendahnya setingkat dengan eselon dua.

DASAR HUKUM
1.   UU No. 28 Tahun 1999;
2.   UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2002;
3.   UU No. 30 Tahun 2002;
4.   UU No. 14 Tahun 2008;
5.   PP No. 60 Tahun 2008;
6.   Perpres No. 24 Tahun 2010;
7.   Inpres No. 5 Tahun 2004;
8.   Inpres No. 9 Tahun 2011;
9.   Inpres No. 17 Tahun 2011.

untuk selengkapnya silakan download disini



“INDEPENDENSI DAN IMPARSIALITAS HAKIM/PENGADILAN SEBAGAI PARAMETER KUNCI “ FAIR TRIAL”

INDEPENDENSI DAN IMPARSIALITAS HAKIM/PENGADILAN SEBAGAI PARAMETER KUNCI “ FAIR TRIAL
DR. Ibrahim, SH., M.H., LL.M

Pada tahun 1906 Roscoe Pound di hadapan  The American Bar Association  mengatakan bahwa  ketidakpuasan/ketidakpercayaan publik terhadap proses peradilan (administartion of justice ) setua dengan hukum itu sendiri. Ketidakpuasan itu, antara lain disebabkan oleh peradilan yang tidak merdeka , parsial dan putusan  yang tidak objektif. Hal ini sejalan dengan apa yg disinyalir oleh Ehrlich, “An old saying that those rich walk free, while those without money get punished” .

INDEPENDENSI HAKIM/PENGADILAN

Prinsip bahwa hakim/pengadilan harus merdeka dan tidak memihak diakui  pada semua sistem hukum dan beberapa instrumen hukum hak asasi internasional.

Ide/gagasan (notion) “judicial independence” berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh filsuf Prancis Montesquieu dalam L’Esprit des Lois (1748) yg mengatakan:

there is no liberty,  if the judiciary power be not separate from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty  of the subjects would be exposed to arbitrary control; for the judge would be the legislator. Were It joined to the executive power, the judge bight behave with violence and oppression”

Berdasar pada pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan/kemerdekaan hakim adalah salah satu prasyarat bagi terselenggaranya proses peradilan yang fair.

Pengertian biasa/secara sederhana, independence berarti “freedom from influence” atau tidak menjadi subordinasi dari organ lainnya, khususnya eksekutif dan legislatif – penting kaitannya dengan seleksi hakim.

Secara khusus, independensi berarti bahwa hakim adalah pencipta atas putusannya (the authors of their own decision) dan karena itu mereka seharusnya bebas dari pengaruh yang tidak pantas (inappropriate influence).

Pertanyaannya adalah independensi hakim untuk apa dan untuk siapa?  Chief justice Fraser Alberta, Canada mengemukakan, “ we have judicial independence for a reason to protect the constitutional right of our citizens”.

Artinya bahwa independensi hakim tidak hanya diperuntukkan bagi kemanfaatan hakim, tetapi untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan (independence is not  a privelege of the judge, but a benefit for the public).

Bahkan dalam pembukaan Universal Charter of the Judge dinyatakan bahwa, “ independence is not right, but an obligation< “judge shall in all their work ensure the rights of everyone to a fair trial” 

IMPARSILITAS

Maksud dari kebebasan hakim adalah untuk membuat proses peradilan yg tidak memihak. Untuk itu, selain hakim harus merdeka/bebas, hakim juga harus menjaga netralitas/tidak memihak – judge standing in between the parties –   atau sering dikatakan bahwa hakim harus menjaga keseimbangan tangannya (equality of arm).

Imparsiality dapat diartikan seorang hakim tidak bleh memiliki personal bias/preference pada salah satu pihak guna membuat putusan yg adil.

Stefen Strechsel mengatakan, a judge must be free to float hither and thither between the position of the parties and finally reach a decision at the place which, in correct application of the law and rules of jurisprudence, marks the just solution.

Meskipun terdapat perbedaan antara kebebasan dan imparsialitas, tapi keduanya adalah saling menguatkan. Seperti dikemukakan oleh Chief Justice Lamer, Canada,  …judicial independence is critical to the public’s perception of impartiality; judicial independence is the cornerstone, a necessary prerequisite for judicial impartiality.

Imparsialitas ditandai oleh keseimbangan objektif dari kepentingan sah pihak dalam suatu kasus. Imparsialitas hakim bisa goyah apabila hakim membuka kran terjadinya komunikasi sepihak (ex parte communication) baik di dalam maupun di luar persidangan atau melonggarkan komitmen integritas. Praktek komunikasi sepihak dan longgarnya komitmen pd integritas menjadi pintu bagi terhalangnya pengambilan putusan yang obyektif.  Apabila perilaku korup menghinggapi pribadi hakim, maka akan sulit kita mendapatkan kepercayaan publik.

Untuk itu menarik untuk menyimak pernyataan John Marshal berikut:
I have always thought, from my earliest youth till now, that the greatest scourge an angry Heaven ever inflicted upon an ungrateful and sinning people, was an ignorant, a corrupt or a dependant judiciary.”(Jhon Marshall at the Virginia Constitutional Conference in 1829-30)

KESIMPULAN

·      Independensi hakim adalah prasyarat untuk menjadikan peradilan tidak memihak
·    Judicial Independence is not an end in itself, but an instrumental value that serves another end.” (Professors Ferejohn and Kramer)
·    Dengan  independensi dan imparsialitas hakim diharapakan kepercayaan publik perlahan  bersemi kembali baik di dalam maupun di luar pengadilan
·     Indpendensi dan imparsialitas hakim merupakan amunisi bagi perjuangan menegakkan hukum dan keadilan.
·      Independensi hakim adalah prasyarat untuk menjadikan peradilan tidak memihak
·    Judicial Independence is not an end in itself, but an instrumental value that serves another end.” (Professors Ferejohn and Kramer)
·    Dengan independensi dan imparsialitas hakim diharapakan kepercayaan publik perlahan  bersemi kembali baik di dalam maupun di luar pengadilan
·    Indpendensi dan imparsialitas hakim merupakan amunisi bagi perjuangan menegakkan hukum dan keadilan.

Selengkapnya download disini



Sunday, April 10, 2016

DASAR FILOSOFIS KODE ETIK & PEDOMAN PERILAKU HAKIM ( KEPPH )

DASAR FILOSOFIS KODE ETIK & PEDOMAN PERILAKU HAKIM ( KEPPH )
Oleh
ANSYAHRUL
( Disampaikan pada Pemantapan KEPPH Bagi Hakim Masa Kerja 0-8 Tahun yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial RI di Mataram 24 Februari 2015 )


Menjadi seorang Hakim, adalah merupakan pilihan, apapun alasannya. Ada yang beralasan “iseng”, ada yang beralasan “tidak sengaja”, ada yang beralasan “sebenarnya bukan passion saya”, ada yang beralasan “terpaksa karena mencari pekerjaan susah”, ada yang beralasan “hanya ini lamaran saya yang diterima”, ada yang beralasan “panggilan jiwa”, atau “terpanggil”, atau “ingin mengabdi kepada bangsa dan negara”, atau “ingin menerapkan ilmu yang telah diterima di bangku kuliah”, ada pula yang beralasan “untuk lahan mencari nafkah untuk hidup”, ada pula yang beralasan “untuk jadi kaya”, dan berbagai alasan lain dari masing-masing hakim, namun senyatanya adalah bahwa menjadi Hakim merupakan pilihan mereka.

Secara kodrati, dalam kehidupannya manusia adalah “bebas”, bukan dalam pengertian “lepas”, tapi dalam pengertian “merdeka”, yaitu “merdeka dalam memilih untuk mengikatkan diri pada sesuatu”, dan manusia ideal adalah “manusia yang konsekuen dengan pilihannya”.

Apabila seseorang telah menentukan pilihannya menjadi Hakim, maka ia harus konsekuen untuk menaati seluruh aturan, norma, dan tata tertib jabatan Hakim tersebut, yaitu mengenai tugas pokok dan fungsi, hak berlaku bagi pemangku jabatan Hakim, termasuk kode etik dan pedoman perilaku sebagai Hakim.

Jika seorang Hakim tidak menaati aturan-aturan tersebut, berarti ia tidak konsekuen dengan pilihannya, dan hal tersebut berarti merupakan pengkhianatan yang akan merugikan diri sendiri, jabatan yang disandangnya, lembaga / institusi yang membawahinya, serta bangsa dan negara. Untuk itu ia harus mempertanggungjawabkannya kepada bangsa, negara, masyarakat, dan Tuhan Yang Maha Esa, karena setiap ia memutus suatu perkara, ia wajib melafazkan sumpah : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dasar filosofis Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ( KEPPH ) harus benar-benar dipahami oleh para Hakim, karena dari begitu banyaknya pengaduan yang diajukan oleh masyarakat menyangkut perilaku negatif para Hakim, baik yang diajukan kepada Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Ombudsman, dan lembaga-lembaga lainnya, adalah merupakan indikator bahwa ada yang tidak beres dalam memahami KEPPH.

Kenyataan menunjukkan bahwa masing-masing Hakim mempunyai pandangan dan sikap serta persepsi dan asumsi berbeda-beda mengenai KEPPH ini. Ada yang berpersepsi bahwa KEPPH justru membelenggu kebebasan Hakim ; yang lain berasumsi bahwa apabia seorang Hakim mengamalkan KEPPH tersebut secara utuh, akan menjadikan ia “makhluk aneh” dan tidak akan bisa bersosialisasi, dan bagaimana ia akan mampu memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat ; sebagian yang lain berpendapat bahwa KEPPH tersebut adalah utopia, yaitu sesuatu yang ideal yang tidak akan mungkin dipenuhi oleh para Hakim secara utuh, sementara yang lain memandang KEPPH dengan acuh, bahkan sinis, yang sebagian lagi tidak peduli ; namun demikan masih ada yang melihat peranan KEPPH ini secara waras.

Untuk dapat mengamalkan KEPPH ini, para Hakim harus memahami betul makna jabatan “Hakim” dari berbagai segi seperti : filosofi, agama, psikologis, yuridis, antropologi, sosiologis, politis, dan budaya.

KEPPH terdiri atas dua lapisan, yaitu :
1. Kode Etik ( Code of Etics yang juga disebut sebagai Code of Professional Responsibility ) yang juga dikenal dengan istilah “Kode Etik Profesi” yaitu “Kumpulan asas atau nilai yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi yang menjadi pedoman bagaimana seharusnya berperilaku dalam menjalankan profesi”1.
2. Pedoman Perilaku ( Code of Conduct ), yaitu : “A written set of rules governing the behavior of specified groups, such as lawyer, government employees, or corporate employees”2. Code of Conduct ini merupakan aktualisasi atau terapan dari Code of Etics yang sifatnya abstrak dan universal.

Dasar filosofis KEPPH harus dikaitkan kepada hakekat,makna, fungsi, tugas, dan tanggungjawab dari jabatan Hakim itu sendiri.


1Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke II, 2001, halaman 142
2 Bryan A. Garner-Editor, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul, Minnesota, United States of America, 1999, halaman 250  

Selengkapnya silakan download Dasar Filosofis KEPPH

Penalaran Hukum (legal reasoning) sebagaimana selayaknya dijalankan oleh para hakim (judicial reasoning)

Penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis tersistematisasi (gesystematiseerd
probleemdenken) dari subjek hukum (manusia) sebagai mahluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya.

selengkapnya silakan download disini